Ya, saya tidak akan pernah berhenti mendengarkan lagu-lagu sampai pengeras suara yang menempel di telinga itu berhasil memuntahkan segala yang menumpuk di kepala.
Bagi sebagian orang, mendengarkan lagu mungkin hanya sekadar menjadi pelipur lara, tetapi bagi saya, musik dan lirik adalah dua kesatuan yang tak bisa saya lepaskan dari sebuah usaha untuk tetap bertahan hidup.
Semua dimulai dari melihat kebiasaan ibu saya membeli kaset pita yang berisi kumpulan lagu-lagu favoritnya, dua yang saya ingat adalah album “Badai Pasti Berlalu” dari Chrisye dan kumpulan lagu yang menjadi latar suara film “Laskar Pelangi”.
Waktu saya duduk di bangku SMP, saya rela menghabiskan puluhan pena untuk memutar kaset pita dari dua album tersebut agar berputar tepat di lagu berjudul “Sahabat Kecil” dari Ipang dan “Pelangi” dari Chrisye. Saya suka sekali lirik dari kedua lagu tersebut.
Dulu, saya tidak mengerti mengapa ibu saya senang sekali bernyanyi atau mengumpulkan kaset-kaset untuk diputar keras-keras ketika memulai paginya, sampai saya menyadari, ritual itu menjadi salah satu caranya untuk menyampaikan segala keluhan, kekesalan, hingga kesedihan tak tersirat pada ayah saya.
Mungkin kebiasaan mendengarkan lagu juga warisan dari eyang putri saya, yang gemar sekali mendengarkan radio saat memasak, dengan satu judul lagu favorit yang sering saya dengar ketika memasuki dapur tempat ia bekerja mencari rupiah demi rupiah untuk anak-anaknya (ya, beliau adalah seorang koki), yakni “Andaikan Kau Datang Kembali” dari Koes Plus.
Sejak menyadari itu, cara pandang saya terhadap lagu menjadi sangat berbeda. Saya mulai bergantung padanya, mencari dan menggali siapa yang menyanyi, menguliti kisahnya, belajar menulis puisi yang layak dijadikan lirik, hingga belajar memainkan musiknya.
Waktu pertama kali bisa main gitar, lagu pertama yang bisa saya mainkan adalah “Crazier” dari Taylor Swift dan “Tinggal Kenangan” dari Gaby. Saya belajar otodidak dari gitar milik om saya yang dibelikan kakek saat dia kuliah. Meski sudah sember, gitar merk salah satu produsen asal Jepang itulah saksi hidup di balik alasan klise anak-anak 90-an belajar bermain musik: jatuh cinta pada seseorang.
Orang bilang lagu pertama diciptakan pada tahun 1.400 sebelum masehi di Suriah, dari alat berbahan tanah liat yang entah bagaimana bentuknya. Saya patut berterima kasih pada manusia dari Suriah itu, karena telah membuat hidup saya menjadi sedikit ada maknanya.
Jika alat musik itu menjadi saksi lagu pertama diciptakan, maka boleh dibilang saksi bisu atas kecintaan saya pada lagu dimulai dari dua kaset berisi perasaan-perasaan dari ibu yang mungkin tak pernah bisa tersampaikan lewat bicaranya.
Saya selalu memaknai lagu sebagai sesuatu yang tidak sekadar untuk didengar, karena menurut saya, lebih dari itu, beberapa lagu diciptakan untuk menyelamatkan.
Beberapa yang pernah menyelamatkan saya dari keinginan untuk mati adalah “Who You Are” karya Jessie J, dan “This Song Saved My Life” karya Simple Plan.
Mungkin tanpa dua lagu yang menjadi on repeat saya di masa SMA itu, saya tidak akan bertahan hidup sampai sekarang.
Lagu juga jadi salah satu pertimbangan ketika saya memilih tempat nongkrong. Tempat yang punya playlist bagus tidak selalu punya makanan dan minuman yang enak, tetapi setidaknya ia akan menemani saya melamun sejenak.
Hari saya akan sumbang tanpa terlebih dulu memasang earphone dan memutar lagu.
Lagu juga menjadi medium saya untuk menghidupkan hubungan dengan orang lain, entah itu sahabat, keluarga, hingga pacar. Membuat daftar panjang atau playlist rekomendasi lagu dari teman-teman di Instagram sempat saya lakukan secara rutin di tahun 2019, meski sekarang sudah tidak pernah lagi.
Kurasi lagu-lagu rekomendasi mereka itu saya sematkan di Spotify. Rasanya nyaman ketika ikut mendengar apa yang mereka rasakan, yang mungkin juga tak bisa tumpah lewat kata-kata.
Dalam beberapa percakapan, mungkin secara tidak sadar saya bertanya lagu yang mengubah hidup seseorang, atau menceritakan lagu yang sedang saya suka kepada lawan bicara. Ketika saya sudah melakukan hal tersebut, artinya saya sudah meletakkan kepercayaan pada orang itu.
Meski sering mendengarkan lagu, saya baru menonton konser di tahun 2017. Tahun pertama saya diajak nonton konser oleh seseorang yang pernah mengisi kisah percintaan saya saat kuliah. “Man Upon The Hill” dari Stars and Rabbit mungkin akan menjadi salah satu lagu yang saya recall kembali sampai kapanpun, untuk mengingatkan saya pada satu momen bahagia di tengah seluruh pertempuran hidup yang setiap hari saya alami.
Seringkali lagu-lagu yang saya unggah di media sosial itu adalah cara saya menyampaikan apa yang sedang saya rasakan. Sebagian besar mungkin tentang kesepian, kegagalan, dan kekalahan, seperti dalam “Derai-Derai Cemara”, musikalisasi dari karya Chairil Anwar yang dinyanyikan Banda Neira, dengan satu bait lirik paling mengesankan, “hidup hanya menunda kekalahan.”
Dengan lagu, saya tidak pernah takut menjadi pengecut yang tak mampu menyampaikan perasaan sayangnya pada orang yang sedang ia cintai.
Dengan lagu pula, saya tumbuh menjadi perempuan yang kerapkali menangis dan berteriak kesepian tetapi tidak menyerah menghadapi setiap pertempuran.
Dengan lagu, saya bisa merangkai trauma saya dalam setiap petikan gitar, pukulan drum, atau penekanan tuts piano yang tidak selalu melantunkan nada mayor. Karena mungkin untuk sembuh, perlu ada keseimbangan yang tertuang dalam nada-nada minor.
Dengan lagu pula, saya tidak pernah kecewa melepaskan orang yang hanya datang untuk mampir dan tak pernah tinggal lebih lama. Mereka berhak untuk singgah sebentar lalu berkelana kembali, dan tidak apa-apa jika saya hanya menjadi tempat pemberhentian yang sementara.
Dengan lagu, saya tumbuh menjadi seorang pemaaf yang tidak pernah dendam dengan kehidupan, meski banyak yang akhirnya pergi, atau sengaja meninggalkan.
Dengan lagu, saya tidak pernah takut kalah, atau bahkan sengaja menyerahkan diri pada kekalahan, menghindar dari keramaian dan tidak pernah menjadi pemenang.
Dengan lagu, saya bisa lebih “Jernih” menghadapi hidup seperti salah satu judul di album “Pengantar Purifikasi Pikir” oleh Kunto Aji.
Komentar
Posting Komentar