Langsung ke konten utama

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr: https://lee2419.tumblr.com/

Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A cliché American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene-nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di café tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing.”

Well honestly, tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya.

from https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg
Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Audition” di official playlist film ini. “Here’s to the fools who dream, crazy as they may seem. Here’s to the heart that break, here’s to the mess we’ve made.”  Penutup akhirnya, “I trace it all back to then, her and the snow and the Seine, smiling through it, she said she’d do it again.” Aku tau, lagu itu sengaja dibuat untuk ditujukan pada bibi si Mia, tapi tapii... damn those rhyming and poetical lyrics!

Film ini selalu mengingatkanku akan cinta monyet masa remaja dulu, masa di mana aku masih berseragam sekolah dan terlalu naif untuk membayangkan kenyataan pahit di hidup ini, yang sungguh lebay dan ingin dibakar jadi abu biar hilang tapi nggak tau kenapa, semakin diingat-ingat, malah semakin dalam. Nggak tau kenapa, dari dulu aku selalu suka dengan laki-laki yang punya pendirian, pemikiran yang ideal, dan tahu hidupnya ke depan bakal ada di mana dengan terus menjalani passion-nya. Aku selalu kagum sama laki-laki seperti Sebastian, yang nggak egois dan tanggung jawab mewujudkan mimpinya, bahkan encourage orang lain juga untuk mengejar apa yang mereka cita-citakan. Yes, I’ve always wanna be that kind of person in my life.

Sebelum aku bertemu dengan cinta pertamaku ini (ea ea ea), cinta pertama bukan, ya? Au ah yang jelas sebelum aku bertemu dengan laki-laki yang membuatku cukup kagum ini, nggak pernah ada yang percaya sama mimpiku. Semua orang selalu meragukannya, semua orang nggak pernah percaya kalau suatu saat aku bakal bisa keliling dunia hanya dengan modal menulis. Termasuk mamaku sendiri, yang padahal juga menjalani profesinya sebagai jurnalis. Sungguh, segala keraguan itu selalu ditimpakan padaku, ucapan-ucapan seperti, “ayolah, kamu harus realistis” hampir selalu jadi makanan sehari-hari. Seakan mimpi yang aku ucapkan itu nggak akan pernah bisa diwujudkan, dan seakan-akan apa yang aku inginkan itu nggak pernah nyata. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, sekarang aku sudah cukup membuktikannya.

He was the very first person, yang bilang ke aku dengan seluruh keyakinannya, kalau aku harus terus menulis. He was the very first person who believe that, too. The very first person that make me feel whole, and worth. Sebagai seorang perempuan yang baru bisa jatuh cinta kalau udah klik sama orang ketika berbicara tentang mimpi, harapan, dan passion, siapa sih, yang nggak klepek-klepek digituin?
But then I realize, we’re like venus and mars. Separated not so far, but will never be one. Kayak, beda dunia aja kalau kata temen-temenku. We’ll never fit in and unfortunately, I believe that. Aku bahkan sudah patah hati sebelum memulai hahaha. Tapi, aku beneran bersyukur sampai sekarang bisa kenal dengannya. Kalau kita nggak bertemu sapa di persimpangan lorong-lorong sekolah atau saat ngambil sepeda, mungkin aku sampai sekarang nggak akan pernah percaya sama mimpiku sendiri.

"Where are we?" ceunah. Kan bodoh yak. From: https://www.discoverlosangeles.com/things-to-do/the-best-places-to-experience-la-la-land-in-los-angeles
Itulah mengapa, di akhir kisah La La Land saat dia sudah berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan, aku otomatis membencinya. Luntur sudah semua kekagumanku sama Mia. Kalau di AADC yang jahat Rangga, ini aku mau bilang, “Mia, kamu bangsat. Sabar dikit, kek.” That American Dreams yang awalnya dianggap klise sama Seb, ujung-ujungya dilakoni juga. Aku sebenarnya udah mulai nangis sih waktu di bioskop nonton ini sama temen-temen kuliah pas scene di Planetarium yang Mia tiba-tiba nanya, “Where are we?” seakan udah nggak ada harapan tentang kehidupan mereka berdua setelah ini. Kayak, I have predicted they won’t be in the same way.

And voila! There they are. Ambyaaaarrrrrrrrr……..

Tapi aku yakin sih, mereka sudah bahagia dengan hidupnya masing-masing, sebagaimana aku mengikhlaskan kisah percintaanku yang bahkan sudah jatuh sebelum memulai langkah pertama hahaha. I am very sure that he is happy now. He’s happy with his life, happy with his friends, happy with his girlfriend no matter who and what kind of person she is, and happy living his dreams.
Jadi, siapapun kamu yang jadi tokoh dalam tulisan kali ini, aku mau mengucapkan terima kasih dari hatiku yang paling dalam, ya. Terima kasih sudah percaya sama mimpiku, terima kasih sudah percaya kalau aku bisa, terima kasih kita pernah berteman dengan baik. Smile more often, you’re handsome with that black bright eyes and brave heart.

Someday when I’m done writing my own book, maybe you’ll be the first person to get the copy, even before my mom and dad, even before my best friends. Because you’re the first person who liven up my writings and I won’t let anyone turn your dreams down by proving you that I did it, bro!
So yeah, thank you, La La Land, thank you, you, see you in Europe, America, Afrika, Australia, Antarctica or maybe in our own hometown.

Ya kalau ketemu lagi?! Halu emang lu, Tang!

Udah gitu aja, jangan lupa ditonton ya filmnya, bagus banget sumpah. Sama ini, tandingannya yang nggak kalah bagus, The Greatest Showman. Harus. Banget. Nonton. Kalian tuh!

Until then, see you on the next post!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa