Langsung ke konten utama

Satu. Arum

Beberapa tempat, aroma, suasana, benda, hingga luka bisa membuat sebagian orang mengingat kembali,
Tapi kali ini aku tak akan bercerita tentang jiwa-jiwa yang sakit hati.

Alkisah di negeri peristiwa,
Benang-benang saling berkumpul dan berbicara layaknya manusia,
Dan jarum adalah musuh yang kerapkali datang membawa bencana.
Setiap kali pasukan jarum datang, pak Kunang selalu siap memimpin di depan tuk menghadang.
Entah siapa orang pertama yang menyebutnya Pak Kunang,
Yang jelas Pak Kunang adalah singkatan dari kepala suku negeri benang.

Di kawasan perbatasan yang memisahkan negeri benang dan negeri jarum,
Berdirilah pondok kecil tempat tinggal seorang petani bernama Arum.
Ia adalah seorang petani perempuan muda yang pandai mengolah gandum,
Setiap pagi, ia selalu menyapa setiap penduduk yang lewat dengan senyum.

Sayang seribu sayang, Arum adalah perempuan yang keras hati.
Berpuluh kali lelaki berusaha untuk mendekati,
Arum tetap saja menutup diri.
Tiada yang pernah tau darimana Arum berasal,
Yang orang tahu, kedua orang tuanya telah meninggal.
Hingga kini,
Arti nama Arum masih saja tiada yang pernah memahami.

Arum adalah perempuan penjaga perbatasan,
Tiap kali penduduk negeri jarum mencoba untuk menembus pertahanan,
Arum punya seribu cara agar wilayahnya tetap aman.
Tiada yang pernah mengira bahwa selama ini, Arum adalah perempuan yang pandai menyimpan misteri.
Diam-diam, ia tengah menjalin cinta dengan seorang lelaki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A clichĂ© American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di cafĂ© tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa