Langsung ke konten utama

Marriage Story – A Very Personal Review from A Girl, Also A Child that Interpreted Love from A Trauma


Cerita ini akan sangat personal sekaligus terlalu subjektif, jadi maaf kalau sebagian besar malah berisi curahan hati, bukan review film seperti yang seharusnya.

Dari sekian banyak “recommended for you” setiap kali membuka Netflix, film ini termasuk salah satu yang ku abaikan. Dari sekian banyak review hingga nominasi Oscar yang menobatkan Scarlett Johanson dan Adam Driver sebagai aktris serta aktor favorit, aku tidak peduli. Aku harus mempersiapkan banyak sekali persiapan. Ya, persiapan di dalam persiapan, hingga di dalam persiapan itu kau tak tahu lagi apa yang harus dipersiapkan.

https://cultura.id/marriage-story-review-drama-pernikahan-yang-natural-dan-relevan
From Cultura.id

Cerita ini dibuka dengan manis. Sebuah surat yang dibacakan seorang suami kepada istrinya, tentang bagaimana mereka pada akhirnya memutuskan untuk menikah. Sejak pertama kali menyaksikan adegan Nicole menandatangani tawaran berdonasi, aku sudah tahu film ini akan membuatku banyak menangis.

Pasangan yang awalnya ku kira akan memiliki akhir bahagia karena cukup menggambarkan kehidupan penuh drama dua orang yang saling bersama karena mimpi yang sama, ternyata menghadirkan getir yang membuatku bergumam, “Ah, andai saja kalian berdua bersabar sedikit lebih lama.”

Marriage Story cukup lekat dengan kisah yang terjadi dalam hidupku. Baiklah, akan ku mulai dengan menempatkan “aku” sebagai Henry. Hanya saja, sebagai Henry, aku banyak menggugat, banyak mengungkapkan amarah demi amarah, dan seringkali menjadi sosok dramatis yang kerapkali menuntut banyak perhatian.

Aku punya masa kecil yang hampir sama seperti yang dialami Henry. Hanya saja, tak punya banyak kesempatan untuk membagi diri, terutama dengan bapak – seperti yang dialami Henry yang punya privilege untuk bermain-main bersama Charlie. Padahal, sejak lahir hingga usia sembilan tahun, aku adalah anak bapak. Waktu bangun tidur, yang dicari bapak. Sebelum tidur pun, harus selalu memegang tangan bapak. Sampai-sampai, dilepas sedikit saja genggaman tangan itu, aku akan menggugat.

Aku kehilangan sosok bapak di usia sembilan tahun itu. Selama tujuh tahun lamanya, setidaknya sampai pada usia enam belas, aku baru berani menuntut kehadirannya lebih jauh. Berani menantangnya untuk pergi saja selama-lamanya dari rumah dan tak usah kembali. Hingga pada usia itulah, untuk pertama kali aku diajak ibu ke psikiater.

Sangat jarang aku berani menceritakan ini kembali, apalagi secara langsung. Hanya orang-orang beruntung – yang kebetulan sangat dekat – dan merupakan orang lain yang bukan dari masa laluku saja yang terkadang mendengar setiap detail cerita – lengkap dengan gestur tubuh dan mulutku yang kerapkali menolak untuk menceritakannya kembali. Ingin menangis, tetapi yang keluar hanya jeda setiap kata yang terlalu lama.

Aku pernah membayangkan kehidupan di mana aku sama sekali tidak akan pernah menikah dengan siapa-siapa. Tidak ada yang mudah dari melumat kekecewaan demi kekecewaan yang bertahun-tahun ditahan. Aku mulai menjadi sosok yang berani dan cenderung pemarah sebelum menginjak usaia dua puluh. Seringkali bertindak seperti laki-laki, aku merasa tidak membutuhkan sosok yang harus melindungiku setiap waktu. Hampir setiap kata yang diucap bapak, selalu ku tentang. Apalagi ketika tahu bahwa ibu selalu memberikan toleransi demi toleransi, dan maaf yang terlalu banyak. Aku sempat membayangkan sebuah kehidupan di mana kami akan hidup bertiga saja, aku, ibu, dan adikku.

Aku pun bahkan pernah membayangkan kehidupan di mana aku saja yang akan menggantikan peran bapak. Aku akan menjadi apa saja, belajar teknik, belajar membetulkan pipa yang bocor, listrik yang konslet, hingga kompor yang tak bisa menyala. Aku pernah menjadi perempuan yang sama sekali tak acuh dengan kehadiran laki-laki, siapapun itu. Merasa bahwa perempuan bisa menjadi di atas mereka, dan perempuan bisa hidup dengan sesama perempuan saja.

Hingga pada suatu hari saat aku membentak bapak untuk pergi, aku menyaksikan sebuah kejadian yang ku saksikan pertama kali seumur hidupku: bapak menangis. Menitikkan air matanya di depanku. Sedang ibu tersimpuh di ujung meja makan, memohon agar kami mulai berbicara tanpa amarah, sekali saja. Setelah bertahun-tahun menyimpan luka, untuk pertama kalinya aku menyaksikan bapak terus merapal kata-kata yang beruntun ini berkali-kali: “Ini semua bapak yang salah. Ini semua salah bapak. Ini semua karena bapak. Maafkan bapak.”

Esoknya, di sekolah aku menjadi gila. Aku ingat sekali, tragedi itu terjadi tak lama setelah hari ulang tahunku. September 2013, entah tanggal berapa. Dan saat aku diperintahkan untuk pulang saja tanpa menunggu acara sekolah selesai, bapak menjemputku. Setelah tragedi yang cukup pilu itu, aku merasa aku tak punya lagi air mata. Aku pernah tidak bisa menangis karena isi kepala yang terlampau kosong melompong.

Aku menangis tersedu saat menyaksikan adegan Nicole dan Charlie di ruang tamu. Sudah cukup benar pertengkaran itu tak melibatkan Henry di dalamnya. Adegan itu membuat trauma semakin membayangi kepalaku, membayangkan bagaimana terang benderang-nya kehidupan adikku jika saat itu ia tak ada di sana. Ya, waktu itu aku tak hanya menyakiti satu orang saja, tetapi tiga orang sekaligus yang menjadi akar dan inti dari pohon kehidupan yang tanpanya, aku tak kan bisa menghirup oksigen untuk bernafas.

Saat itu, aku hampir kehilangan bapak karena apa yang ku ucapkan, karena amarah yang begitu lama ku pendam dan keluar dalam bentuk yang tak pernah ku duga sebelumnya. Hingga setelah melalui badai yang cukup besar, aku pernah meminta untuk pindah sekolah dan pindah kota saja, memulai hidup yang benar-benar baru.

Sampai pada waktu aku mulai memaafkan apa-apa yang pernah terjadi dalam kota abu-abu itu. Kota tempatku menyaksikan kekecewaan demi kekecewaan.

Ketika merantau, aku pun pada akhirnya menyaksikan ibu yang kembali menangis tersedu-sedu. “Mengapa kamu tidak ada di rumah saat kami sudah baik-baik saja, nak?”, katanya, ketika mobil akan membawanya pulang menuju stasiun untuk melepasku hidup di asrama. Aku tak menjawab apa-apa, hanya saja dalam hati aku berbicara, “Setidaknya aku tidak meninggalkan sesuatu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Setidaknya bertiga, kalian tahu apa yang harus dilakukan meski tanpa aku yang harus terus ada.”

Kemudian, ibu menutupnya dengan satu kalimat yang hingga kini aku sesali pernah katakan, “Inilah mimpimu. Kau pernah bilang saat sekolah dulu, kau ingin kuliah yang jauh sekali dari ayah dan ibu. Kali ini Tuhan berpihak pada mimpimu.” Mungkin saja, itulah yang dirasakan orang tua-orang tua kita saat melepas anak-anaknya merantau. Mengutip kata Kahlil Gibran, “Anakmu bukan Anakmu.”

Kehidupan kuliah nyatanya cukup membuatku bahagia. Meskipun di tahun pertama harus operasi sendirian, jadi kurus dan jarang makan, aku menikmati proses mempelajari ilmu komunikasi. Hingga kini, Bandung selalu melekat dalam urat nadi. Saat kuliah itu juga, setelah berkali-kali didatangi laki-laki demi laki-laki, ada satu yang bisa membuatku yakin untuk memulai yang dulu tak pernah berani ku lakukan. Tapi sayang sekali, apa yang kita mulai juga harus diakhiri, meski tidak pada waktunya, dan tidak pada tempatnya. Nyatanya mungkin memang ada mimpi-mimpi kita yang masih sama, tetapi lebih baik untuk dijalani dengan terpisah, dengan tidak bersama lagi.

Hingga kini aku menikmati hidup yang sendiri ini, meski kadang tangis masih terus menguasai, aku bangga bisa bertahan sekali lagi. Sampai pada saat aku memberanikan diri untuk menonton Marriage Story, aku baru sadar bahwa aku tak bisa selamanya memproyeksikan bapak pada setiap lelaki yang mencoba untuk hadir. Mungkin, bapak terlanjur menjadi lelaki yang ku letakkan hormat di atas segalanya, yang menjadi teman juga kepala keluarga, yang sangat jenaka ketika berbicara dengan teman-temanku, tetapi diam seribu bahasa saat ku tuntut untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.

Hingga sekarang, bapak tak pernah sama sekali menanyakan siapa gerangan yang tengah ku pikirkan untuk menjalani masa depan bersama-sama. Bapak selalu paham, meski tanpa ku beri tahu, bahwa anaknya masih dihantui oleh rasa trauma. Anaknya tengah menjalani upaya untuk memaafkan bapaknya, dan dirinya sendiri. Tidak ada yang tahu, kapan sang waktu mampu menyembuhkan apa-apa yang tengah berusaha untuk ditambalnya. Perempuan ini masih merangkak dari jurang. Perempuan ini, masih mencari diri sendiri, sekali lagi.

Nyatanya dalam sebuah pernikahan, memang harus ada yang sama, atau terpaksa disamakan. Meski di tengah-tengah tujuan kita tak lagi sama, setidaknya memaafkan akan jadi bahan bakar yang membuat cinta itu terus ada. Marriage story menyajikan getir yang selama ini tak kita sadari selalu ada. Bahwa kita boleh saja jatuh cinta, tetapi tidak saling bersama-sama. Bahwa mungkin sulit untuk memberi kesempatan kedua karena memang untuk menjadi yang pertama, seseorang harus melalui perjalanan penuh darah. Jadi, untuk mengakhiri kisah ini, aku ingin kembali mengutip kata-kata Kahlil Gibran dalam “The Prophet” yang telah diterjemahkan oleh Sapardi Joko Damono dalam “Al Mustafa”:

Dan selalu saja, cinta tidak menyadari kedalamannya sebelum saat perpisahan tiba. Cinta tidak memberikan apa pun kecuali kepada dirinya sendiri, dan tidak mengambil apapun, kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki dan tidak akan dimiliki, sebab cinta memenuhi kebutuhannya sendiri. Cinta tidak punya keinginan lain apa pun, kecuali memenuhi dirinya sendiri.

From The New Yorker
Dari sini, semoga kita sama-sama paham, bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang sama sekali berlainan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A cliché American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di café tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa