Cinta berakhir pada kata “seandainya”.
Seperti seorang astronaut yang tersesat,
Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana.
Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu
lama,
Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”.
Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di
orbit lima-enam-lima.
Aku tak pernah membuat puisi macam ini,
Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti.
Tenggelam seperti perempuan di video klip itu,
Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.
Dua sembilan Agustus, katanya.
Tapi waktu berhenti di “seandainya”.
Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga,
Kemudian berhenti merasakan bahagia.
Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”.
Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam
berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus.
Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”,
Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis
meratapi foto-foto lama.
Waktu kita benar-benar berhenti di “seandainya”,
Tanpa janji di kapel untuk setia selamanya.
Dan aku terjebak pada kutukan kata itu,
“Seandainya” yang selalu buatku menanyakan arah kita yang
seringkali dibuat ragu.
Seandainya saat itu aku memutuskan untuk menerima
panggilanmu,
Mungkin kita bisa bertahan lebih lama – membenarkan langkah
di atas sepasang sepatu.
Aku berduka atas nama “seandainya”.
Di balik punggung berkemeja merah terbaikmu yang berbalik
pergi tanpa sepatah kata,
Di hari terakhir kau mengantarku pulang di mata redup yang
seketika kehilangan cahaya.
Di hari di mana aku menyesal tak bisa menahanmu lebih lama.
Seandainya kita bisa saling jujur tentang kalimat-kalimat di
kepala yang urung kita ucapkan bersama-sama,
Mungkin kita tak sekedar berhenti di “seandainya”.
Mungkin kita masih menulis di balik halaman memori yang
sama.
Tapi sekali lagi waktu terlanjur berhenti pada kata “seandainya”,
Menelan kita, dua yang terlalu takut untuk mengatakan yang
sebenarnya.
“Seandainya” telah menelan mimpi-mimpi kita dan membuatnya mengecil,
Bersama satu frasa penyair favoritmu yang menjadikannya
nihil.
Karena namamu telah berhenti pada “seandainya” yang
menyisanku sendirian, ganjil.
Kita sama-sama tak mengerti mengapa mimpi itu harus berhenti,
Di tengah kebohongan kita yang tak pernah sengaja untuk
mengakhiri.
Novo Amor telah bersaksi lewat lirik lagu ini yang berhenti
pada “seandainya”,
Begitu pula kita yang terlanjur berhenti tanpa upaya.
Tetapi, lewat “seandainya” aku ingin sampaikan terima kasih
pada mimpi-mimpi kita yang gugur bersama daun mapel,
Mungkin kau akan lebih bahagia bersama siapapun yang akan
membersamaimu menuju Eiffel.
Aku akan tetap menulis seperti katamu di hari perpisahan
itu,
Mengabadikan penyesalanku yang terlalu pengecut untuk
bertanya,
Dan kau yang juga terlalu ciut untuk mengatakan yang
sebenarnya.
Kita hanyalah dua, terjebak pada “seandainya” yang dangkal,
Berharap suatu saat bisa bertemu langsung hanya untuk
mengucapkan selamat tinggal.
Novo Amor - If We're Being Honest
Komentar
Posting Komentar