Langsung ke konten utama

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam,

Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah...

Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya.

Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah.

Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak,

"Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu.

Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu.

Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin.

Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi.

Nyatanya, masih.

Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku.

Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa bercengkerama satu patah kata pun.

Kau dengan bukumu,
Aku dengan bukuku.

Atau, kau dengan catatan harianmu,
Begitu pula aku.

Kita menciptakan dunia sendiri tanpa mengabaikan keberadaan masing-masing.

Itulah hebatnya dirimu,
Kau selalu bisa menemaniku meski dalam diam yang lama.

Tempat ini masih sama.
Tanpa stopkontak,
Tanpa jaringan Wi-Fi,

Tempat kita selalu bisa menikmati dan membiarkan saja ponsel yang mati.

Dan lagi, aku hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi.

Nyatanya, masih.

Oh ya, aku pun tadi melewati supermarket tempat kita mencari baterai untuk kameramu.

Ku pikir, aku sudah lupa apa yang terjadi di tempat itu.

Nyatanya, masih ku ingat dengan baik betapa kita kesulitan menghadapi motor bututmu yang rantainya hampir lepas, 

Tetapi masih kita paksakan untuk berjalan.

Sampai motor itu rusak,
Dan kita tak bisa ke mana-mana lagi.

Hanya bertemu di perpustakaan kampus,
Warung kopi dengan mi kuah andalan kita,
Di mana saja,
Asal dekat dan lekat.

Kampus itu --
Tempat aku masih belum berani kembali ke sana.

Tempat yang masih ingin aku sisakan untuk kapan-kapan yang entah kapan.

Tempat itu akan jadi tempat terakhir untukku memastikan apakah masih ada cerita-cerita tentang kita yang menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung.

Karena aku tak ingin selesai menjelajahi ruang kenangan ini satu demi satu.

Aku masih takut menyelesaikanmu.
Aku masih takut kampus itu akan menjadi tempat terakhir sebelum kau benar-benar tak bisa lagi ku libatkan dalam hidupku.

Aku takut setelah pulang dari sana,
Aku sudah harus membersihkan sepatuku dari jejak langkahmu.

Aku juga takut akan kehabisan alasan pulang ke Bandung untuk mengulang-ulang apa yang sebenarnya sudah usai.

Karena memang yang terjadi di kepalaku,

Kita belum benar-benar --
Usai.



 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A clichĂ© American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di cafĂ© tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa