Langsung ke konten utama

Selamat malam, anggap saja ini curhat, ya.


taken from Pinterest, related to this website: https://selfmadeladies.com/manifesting-challenge/

Selasa (15/04/2019)

Beberapa hari ini jadi sulit tidur. sepertinya, gara-gara sudah cukup jengah dengan so-called work from home ini. Sudah mencoba berbagai cara, mulai dari minum susu sebelum tidur, olahraga aerobik mandiri pakai Youtube di kosan, sampai ngikutin step-step yoga dan nggak bisa-bisa.

Baca sebelum tidur, sudah menjadi kebiasaan jadi itu nggak ampuh-ampuh banget buat ngilangin insomnia kronis ini.

Sejak kecil, mungkin SMP lebih tepatnya, insomnia ini lahir dari kebiasaan. Dulu sebelum ada gadget tapi sudah ada jaringan internet, utamanya warnet waktu itu, aku keseringan cari-cari teori konspirasi yang sampai sekarang ku sesali karena ya, bodoh banget anjir ngapain. Dulu, sepulang dari warnet tuh kepikiran, jadi suka halusinasi sendiri pengen punya misi untuk membobol situs CIA. Lintang, betapa naifnya mimpimu, nak.

Nah, dulu akhirnya jadi suka baca, tapi tetep baca novel sih hehehe. Selain buat mengalihkan kehaluanku, aku sebenarnya juga pengen banget mencari cara untuk membobol situs CIA lewat novel. I mean, tolol, kayak ngapain gitu kan, nggak akan ada, nak gadis.

Waktu SMP juga jadi tahu ada sebuah minuman bernama Good day Choc Orange yang nggak tau sekarang nyari di mana karena susah banget asli, yang dijual cuma Good day Cappuccino aja kayak kenapa sih kalian semua harus mengagung-agungkan Cappuccino seperti mainstream banget! Uhuk, padahal dari dalam hati mengumpat sendiri sempet jelek-jelekin Cappuccino karena sekarang jadi suka banget ehehehe, kata orang mah dari benci jadi cinta, padahal mah enggak itu cuma alasan untuk menutupi kelabilan.

Tulisan kali ini nggak akan ada intinya. Seperti aku memang pengen banget dapat pemakluman dari kalian (ya kalau ada yang baca, ya) kalau aku memang sudah ada di titik jenuh, banget. Benci tapi nggak punya pilihan selain menjalaninya. Ini aja, sampai jam segini kerjaan baru dapat tiga paragraf, sisanya nggak tahu mau dikerjain kapan padahal besok deadline. Mungkin, karena ini juga aksi protes tapi diem-diem bae atas kejengkelanku pada kantor. Ya, economic disaster di tengah pandemi juga menghampiri my not-so corporate company. Gila, nungguin gaji yang dicicil dua kali dalam sebulan itu rasanya gini banget, ya. Pahit.

Tapi, di sisi lain, kalau cerita sama orang-orang, selalu disuruh bersyukur. Ku akui, itu memang benar dan harus diterapkan tapi aku masih nggak bisa diterima dengan kejelasan manajemen aja sampai pengen bikin serikat pekerja hehehe. Tapi apa daya, aku cuma pegawai belum satu tahun alias pegawai kontrak yang hak-haknya dikesampingkan dan mungkin dianggap nggak ada juga.

Sempat deg-degan karena masih muda gini kenapa aku udah punya hutang dan cicilan. Dan kebanyakan mereka due date-nya di tanggal-tanggal pertengahan mau ke 20. Sebenarnya, dengan gaji dicicil ini semua udah ku bayarkan di depan dan menyisakan remahan-remahan yang akhirnya terpaksa membuatku, lagi-lagi, menggunakan tabungan. Like bye bye millenials pandai menabung, aku nggak bisa mengikuti gaya hidup melek finansial seperti yang sudah kalian agung-agungkan. Boro-boro ngikutin anjuran mulailah investasi, atau reksadana, tabungan emas dan blampetan lainnya, gajiku masih sedikit di atas UMR dan udah ngepas kalau sama bayar uang kos.

Awalnya, aku kayak bahagia banget gitu udah punya penghasilan sendiri. Di awal-awal gaji masih full dan belum terpotong pajak-pajak yang jumlahnya ternyata nggak sedikit itu, bahkan masih bisa ngasih orang tua dengan jumlah yang nggak sedikit. Tapi sekarang, mah, boro-boro, sampai nungguin mama nagih aja kalau butuh buat bayar listrik atau air doang. Yang lain udah menguap entah kemana. Pesanku cuma satu, ngga usah sok-sokan ngambil cicilan atau berhutang kalau masih curut kayak gini. Asli, nyesel.

Tapi, yaa nggak boleh menyesal. Aku harus bisa menanggung risikonya. Sedih sih, kenapa waktu itu konsumtif, tapi yaa gimana, butuh. Dan sebenarnya, sampai sekarang juga masih kuat bayar tepat waktu tiap bulan. Dan beberapa emang sengaja ku lakukan demi membantu kehidupan keluarga nun jauh di sana juga, biar aku tidak lagi membebani mereka. Tapi, bullshit lah sama kemunafikan dan segala sok tegar ini, and these coronavirus things yang kapan sih berakhirnya, woy?! Lu nggak mau pulang kembali ke tanah dan mendekap keharibaan ibu di akhirat aja, Cor? Kesel bat gue ama lu.

Akhirnya, mulai cari-cari project freelance. Kemarin sempat dapat beberapa, cuma ternyata malah bingung nentuin harga hikz kasih aku tips dong kengkawan! Gue bahkan nggak paham juga harus mulai nge-bid bikin ide dan proposal yang kayak gimana, because this was my first time! Tapi nggak papa, aku bisa kok belajar dari internet wkwk.

Terus, jadi kepikiran aja kalau ternyata selama ini ada mimpi-mimpi yang perlahan terwujud, tapi sebagian yang lain jadi nggak kesentuh sama sekali. AKU TUH MAU MAIN, TAU! AKU TUH MAU JALAN-JALAN! AKU JUGA MAU MUDIK YA TOLONG!

Inti dari curhat ini, sebenernya aku nggak kenapa-napa, cuman jadi kepikiran aja segininya wabah ngefek ke kita, ya?! Nggak pernah kepikiran sama sekali bakal ada bencana kayak gini, soalnya. Kaget, tapi harus tetep kuat, udah gitu aja.

Terus, untuk mengakhiri, mau nambahin curhat satu lagi...
Aku jadi punya mimpi, nanti kalau udah tua banget like 50 tahunan ke atas gitu, aku pengen jadi kontributor aja kayak mama yang sekali nulis bisa dapet satu juta, sambil buka warteg karena nyatanya aku tuh agak senang proses memasak hihi.

Tapi, mau lanjut S2 dulu. Nggak ada target sih kapan, tapi mungkin jangka panjangnya maksimal usia 27 tahun gitu, habis itu balik Indonesia, pengen banget sebenernya fokus nulis aja tapi kayaknya kok ya, aku mulai percaya sama mama kalau itu nggak realistis. Jadi penulis nggak akan kaya, katanya, dan aku mulai percaya kalau itu benar. Padahal, mimpiku itu juga pengen jadi tante-tante kaya yang suka ngasih duit dan jajanin ponakan-ponakannya, meskipun tanpa suami.

Yang terakhir terdengar agak serem dan ekstrim, ya?!
Tapi ya, gimana, aku pengen jadi perempuan mandiri, dan menurutku sudah itu cukup. Kan, katanya, cowok-cowok Indonesia yang lenjeeeee nggak mau sama perempuan mandiri. Jadi yoweslah nggak usah banyak bacot kalian!

Hihi,
Maaf kasar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A cliché American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di café tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa