Pada satu tarikan nafas menjelang tidur,
Pernahkah kau mendengarkan secara seksama,
Detak jantung yang menggema melalui suara di balik sarung bantalmu?
dug dug...
dug dug...
dug dug...
Terkadang pelan, cepat, atau bahkan terlalu cepat,
Tetapi ia masih di sana,
Memberi pertanda, hari ini hidup masih baik-baik saja.
Memberi tenang, setidaknya sebelum menutup mata,
Kita tahu hari ini masih punya nyawa.
Poros dunia dapat dicari dan ditemukan di mana saja,
Tergantung bagaimana kita mau memaknainya.
Tapi entah, aku menanamkannya di balik selembar kain tipis, tempat ku menugaskannya mengantarku pada alam yang benar-benar lain.
Menyempatkan waktu untuk menepuk-nepuknya,
Menempatkan leher pada posisi ternyaman yang bisa ku terima,
Menghentikan sejenak sibuknya hidup yang telah cukup menguras tenaga.
Ada berbagai jenis yang dapat kita pilih di luar sana,
Dalam ukuran, warna, bentuk, dan ragam yang berbeda.
Kau bisa memilih satin, sutra, atau perca.
Bahan di baliknya juga bisa dipilih sesuai selera, entah kapuk atau bulu angsa.
Tetapi satu hal yang ku yakini,
Ibu telah menyiapkan sarung bantal terbaik untuk ditiduri, bahkan sebelum kita lahir di dunia ini.
Setidaknya, untuk memastikan tidak ada tangisan karena tidur yang kurang nyaman dini hari nanti.
Ada poros dunia yang tersembunyi di balik sarung bantal,
Yang menyimpan bau khas air liur saat kita terlelap tanpa sadar,
Yang menyimpan segala jenis keluhan,
Air mata yang kerapkali mengalir pelan-pelan.
Yang meredam setiap teriakan, dari duka hingga lara,
Dari marah hingga kecewa.
Ya, ada poros dunia di bali sarung bantal.
Mungkin diam-diam, ia telah menyimpan memori masa kecilmu,
Bagaimana kau cukup bahagia mengenang hari yang indah bersama sepeda roda empat baru,
Lari-lari kecil langkah kakimu menjelang malam di mana teriakan ibu terdengar cukup menyebalkan, menandakan waktu untuk pulang,
Dan seiring waktu ia akan berganti warna,
Seiring waktu ia akan berganti warna hingga pada akhirnya mulai tergantikan.
Ya, ada poros dunia di balik sarung bantal,
Yang mungkin diam-diam memahami air mata yang mengalir kala usiamu masih remaja,
Saat lelaki yang kau suka tidak lebih dari bajingan yang senang mempermainkan wanita,
Dan masa-masa sekolahmu tidak pernah seindah kisah-kisah drama.
Diam-diam pula ia menyimpan kekesalanmu akan hidup yang berjalan terlalu cepat,
Tempatmu bercerita saat kawan-kawanmu sibuk balap-membalap,
Menemani kekhawatiranmu akan kekalahan di usia yang menginjak angka dua puluh,
dua puluh lima,
dua puluh tujuh,
tiga puluh,
Sampai ia tergantikan kembali.
Yang diam-diam ikut menyimpan kesedihan,
Ketika kau memutuskan untuk tak lagi tinggal di rumah orang tuamu,
Hidup bersama orang baru yang selama ini kau bicarakan lewat panggilan suara tengah malam,
Menyimpan romansa-romansa cinta dan patah hati paling tak berguna,
Menyaksikanmu mengejar apa yang selama ini kau gambarkan sebagai masa depan.
Ya, ada poros dunia di balik sarung bantal,
Barangkali, sampai saat ini ia masih setia mendengarkan.
Tak pernah mengeluhkan apa-apa,
Setiap malam menerima apa saja yang terpikirkan di kepala,
Setiap malam berusaha memahami apa saja yang terjadi,
Detak jantung yang menyesuaikan dengan suasana hati.
Akan selalu ada poros dunia di balik sarung bantal itu,
Sampai mungkin suatu saat nanti,
Ia pula yang akan menyaksikan detak jantung kita tak ada lagi.
Komentar
Posting Komentar