Langsung ke konten utama

Sarung Bantal

sumber: pinterest/http://1.bp.blogspot.com/

Pada satu tarikan nafas menjelang tidur,

Pernahkah kau mendengarkan secara seksama,

Detak jantung yang menggema melalui suara di balik sarung bantalmu?

dug dug...

dug dug...

dug dug...

Terkadang pelan, cepat, atau bahkan terlalu cepat,

Tetapi ia masih di sana,

Memberi pertanda, hari ini hidup masih baik-baik saja.

Memberi tenang, setidaknya sebelum menutup mata, 

Kita tahu hari ini masih punya nyawa.


Poros dunia dapat dicari dan ditemukan di mana saja,

Tergantung bagaimana kita mau memaknainya.

Tapi entah, aku menanamkannya di balik selembar kain tipis, tempat ku menugaskannya mengantarku pada alam yang benar-benar lain.

Menyempatkan waktu untuk menepuk-nepuknya,

Menempatkan leher pada posisi ternyaman yang bisa ku terima,

Menghentikan sejenak sibuknya hidup yang telah cukup menguras tenaga.


Ada berbagai jenis yang dapat kita pilih di luar sana,

Dalam ukuran, warna, bentuk, dan ragam yang berbeda.

Kau bisa memilih satin, sutra, atau perca.

Bahan di baliknya juga bisa dipilih sesuai selera, entah kapuk atau bulu angsa.

Tetapi satu hal yang ku yakini,

Ibu telah menyiapkan sarung bantal terbaik untuk ditiduri, bahkan sebelum kita lahir di dunia ini.

Setidaknya, untuk memastikan tidak ada tangisan karena tidur yang kurang nyaman dini hari nanti.


Ada poros dunia yang tersembunyi di balik sarung bantal,

Yang menyimpan bau khas air liur saat kita terlelap tanpa sadar,

Yang menyimpan segala jenis keluhan,

Air mata yang kerapkali mengalir pelan-pelan.

Yang meredam setiap teriakan, dari duka hingga lara,

Dari marah hingga kecewa.


Ya, ada poros dunia di bali sarung bantal.

Mungkin diam-diam, ia telah menyimpan memori masa kecilmu,

Bagaimana kau cukup bahagia mengenang hari yang indah bersama sepeda roda empat baru,

Lari-lari kecil langkah kakimu menjelang malam di mana teriakan ibu terdengar cukup menyebalkan, menandakan waktu untuk pulang,

Dan seiring waktu ia akan berganti warna,

Seiring waktu ia akan berganti warna hingga pada akhirnya mulai tergantikan.


Ya, ada poros dunia di balik sarung bantal,

Yang mungkin diam-diam memahami air mata yang mengalir kala usiamu masih remaja,

Saat lelaki yang kau suka tidak lebih dari bajingan yang senang mempermainkan wanita,

Dan masa-masa sekolahmu tidak pernah seindah kisah-kisah drama.

Diam-diam pula ia menyimpan kekesalanmu akan hidup yang berjalan terlalu cepat,

Tempatmu bercerita saat kawan-kawanmu sibuk balap-membalap,

Menemani kekhawatiranmu akan kekalahan di usia yang menginjak angka dua puluh,

dua puluh lima,

dua puluh tujuh,

tiga puluh,

Sampai ia tergantikan kembali.

Yang diam-diam ikut menyimpan kesedihan,

Ketika kau memutuskan untuk tak lagi tinggal di rumah orang tuamu,

Hidup bersama orang baru yang selama ini kau bicarakan lewat panggilan suara tengah malam,

Menyimpan romansa-romansa cinta dan patah hati paling tak berguna,

Menyaksikanmu mengejar apa yang selama ini kau gambarkan sebagai masa depan.


Ya, ada poros dunia di balik sarung bantal,

Barangkali, sampai saat ini ia masih setia mendengarkan.

Tak pernah mengeluhkan apa-apa,

Setiap malam menerima apa saja yang terpikirkan di kepala,

Setiap malam berusaha memahami apa saja yang terjadi,

Detak jantung yang menyesuaikan dengan suasana hati. 


Akan selalu ada poros dunia di balik sarung bantal itu,

Sampai mungkin suatu saat nanti,

Ia pula yang akan menyaksikan detak jantung kita tak ada lagi. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A clichĂ© American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di cafĂ© tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa