Langsung ke konten utama

Melanjutkan hidup.

"Lagipula kau akan tetap melanjutkan hidup," batinku suatu hari.

"Dan aku akan bisa jatuh cinta kembali," ujarku menjawab pikiranku sendiri.

"Lagipula dia telah bahagia," ucap yang lain lagi.

"Lagipula sudah tidak ada waktu yang tepat untuk kembali," kata yang lain menimpali.

Dulu ku pikir hidupku tak lagi ada warnanya saat kau tak ada,
Masih melekat ingatan tentang jaket berwarna biru yang kau kembalikan di hari terakhir kita bertemu, dan masih menyimpan wangimu.
Masih teringat jelas pula betapa di hari itu kau mengenakan kemeja merah terbaikmu seakan tak akan pernah ada lagi kesempatan bagiku untuk melihatnya.

Masih melekat juga rasanya menangis dua hari sebelum tahun baru,
Saat aku menahan keinginan setengah mati untuk mengunduh kembali aplikasi pesan singkat itu.
Membuka-tutup pesan perpisahan tentang ceramahmu agar aku tetap melanjutkan hidup,
Berharap waktu berhenti kali itu saja.

Masih melekat pula ingatan bahwa satu tahun setelahnya kau masih saja menghubungiku,
Satu kalimat yang menggugurkan semangatku untuk melupakanmu itu, berbunyi,
"Boleh aku meneleponmu hari ini? Aku sudah lulus sidang skripsi."

Masih melekat pula di tahun yang sama, kau adalah orang pertama yang membalas cerita yang ku unggah di Instagram,
"Balik ke Jakarta?"

Oh, betapa sulitnya.

Namun berkali-kali pula aku berpikir, untuk apa?

Dalam jarak waktu yang cukup lama itu, lima tahun lamanya, aku menata hidupku -- sendirian.

Sedang kau telah berganti-ganti perempuan.

Dalam jarak waktu yang cukup lama itu, lima tahun lamanya, aku tak pernah membiarkan orang lain masuk, sedang kau bersenang-senang menikmati cinta yang selalu sibuk kau tafsirkan sesuai keinginanmu sendiri.

Sepertinya tahun ini aku sudah merasa cukup.

Untuk tak lagi menyimpanmu sebagai seseorang yang tepat di waktu yang salah,

Karena mungkin memang kita bukanlah dua yang ditakdirkan untuk tepat.

Bahkan tepat tahun lalu saat aku kembali lagi ke kota ini, aku masih saja menjawab pertanyaanmu,

"Kau di pos apa?"

Oh, betapa sulit mengabaikannya.

Tapi rasanya tidak cukup adil apabila setiap kau muncul kembali,

Yang ku ingat hanya saat-saat aku menangis kencang sebelum hari berganti.

Oh, betapa sulit aku mengingatmu tanpa air mata.

Dan kau tetap tertawa menerima bunga-bunga dari perempuan-perempuan baru itu.

Sedang aku menghabiskan waktu untuk menyelami Bandung sekali lagi -- sendirian.

Oh, betapa bodohnya.

Ini akan menjadi terakhir kalinya,
Aku menjadi gila.

Lima tahun yang cukup menguras tenaga.

Aku akan melanjutkan hidup.
Mungkin jika itu versimu, "memilih untuk hidup."

Menerima ketiadaanmu,
Menemukan cinta pada siapa saja,
Yang bukan kamu.

Seperti yang pernah ku lakukan dulu saat bersamamu,
Aku bisa melakukannya sekali lagi.

Karena dulu aku pun pergi dari satu yang tak dapat ku gapai,
Dan menerimamu sebagai satu yang utuh.
Bukan sebagai dia, bukan sebagai orang yang dulu pernah ku cinta.

Aku bisa melakukannya sekali lagi.
Tanpa menulis puisi tentang kau yang sudah tak ada di sini.
Tanpa perlu bersalah dan merasa rendah diri,
Dan mempertanyakan apakah aku masih patut untuk dicintai.

Aku akan melanjutkan hidup.
Dengan rangkaian urusan yang mesti ku selesaikan,
Dan kamu yang mungkin sudah ku lepaskan.
Menyimpanmu hanya dalam ingatan,
Tanpa ada lagi seandainya.
Tanpa perlu ku bertanya-tanya.

Mungkin nanti ketika kita sempat bertemu kembali,
Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Mari melanjutkan hidup dan menjadi...

Sendiri-sendiri.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kita belum benar-benar usai

Yang pertama kali aku sadari sesaat setelah sampai di Bandung kemarin malam, Adalah restoran siap saji tempat kita menghabiskan hampir 24 jam dalam sehari untuk bercengkerama itu, kini telah berubah... Menjadi restoran khas Padang dengan jenama yang entah sulit sekali aku melafalkannya. Dulu, di restoran siap saji itu, kita pernah berdebat hanya karena es krim yang tumpah. Tetapi setelah itu kita tertawa tergelak, "Kenapa kita kayak anak kecil, ya?" katamu. Lalu kita pergi dari tempat itu, mencari dua mangkuk bakso yang ternyata lebih nikmat daripada segelas es krim kelewat mahal itu. Dan pembicaraan kita pun kembali menghangat bersama kuah bakso yang kita biarkan dingin. Aku, hanya ingin memastikan apakah cerita-cerita itu masih menggelayuti kepalaku ketika pulang ke Bandung lagi. Nyatanya, masih. Ojek daring yang menjemputku pagi ini pun mengantarku ke Kineruku. Tempat kita banyak menghabiskan waktu dalam diam selama enam jam, mulai toko ini buka sampai akan tutup, tanpa be

The American Dreams from The Lense of La La Land

A fan art from Hyuna Lee on tumblr:  https://lee2419.tumblr.com/ Film yang dibintangi oleh Emma Stone dan Ryan Gosling ini nggak pernah nggak meninggalkan bekas kalau ku tonton kembali. A clichĂ© American Dreams yang sangat jelas ditampakkan pada mimik Sebastian membuat aku lekat dalam scene demi scene -nya. Pada adegan setelah Sebastian menjemput Mia di cafĂ© tempat kerjanya, ada satu kalimat yang ku suka, “ Yea, that’s LA. They worship everything and they value nothing .” Well honestly , tulisan kali ini akan berujung pada curhat juga sih. Karena, setiap kali nonton film yang bagus banget itu aku otomatis merasa menjadi bagian di dalamnya juga. Hanya saja, kali ini aku benci banget sama Mia. Awalnya seneng banget sama dia, lama-lama mikir juga, “Duh, mbak, kamu naif. Kamu bodoh. Hih gemas,” gitu lah intinya. from  https://dusttalks.files.wordpress.com/2017/05/original.jpg Aku menggemari Mia hanya sampai dia menyanyikan sebuah lagu yang sampai saat ini diberi judul “Au

Novo Amor, Kapel, dan Seandainya.

Cinta berakhir pada kata “seandainya”. Seperti seorang astronaut yang tersesat, Lalu menjatuhkan roketnya di entah yang mana. Bersama gagang telepon dan koin rindu yang disimpan terlalu lama, Novo Amor berhenti pada kata “seandainya”. Karena Kapel Pines di Florida sudah lama ditinggalkan di orbit lima-enam-lima.   Aku tak pernah membuat puisi macam ini, Tiga tahun sudah semenjak pergimu membuat nyaliku berhenti. Tenggelam seperti perempuan di video klip itu, Seorang astronaut yang mungkin berharap bisa memutar waktu.   Dua sembilan Agustus, katanya. Tapi waktu berhenti di “seandainya”. Serotonin-nya lebur bersama roketnya yang berharga, Kemudian berhenti merasakan bahagia. Ia kembali mengucap, “Dua Sembilan Agustus”. Seandainya kita sama-sama jujur, mungkin apa yang kita tanam berdua di masa lalu, bisa tumbuh terus. Tapi daya kita hanya berhenti di “seandainya”, Dan aku hanya pecundang yang masih kerapkali menangis meratapi foto-foto lama.   Wa